DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Nikah Siri
2.2
Landasan Hukum Terkait Catatan Pernikahan
BAB III ANALISIS
3.1 Nikah
Siri Menurut Hukum Negara
3.2 Nikah
Siri Menurut Islam
3.3
Pendapat Berbagai Narasumber Mengenai Nikah Siri
3.4
Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
4.2 Saran
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa
ini, statistik kejadian nikah siri meningkat berlalunya waktu. Terutama pasca
beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan
audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun
segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat
konsumen berita. Proses conditioning
sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai
budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya
tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari
budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai
pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan siri yang
dilakukan oleh selebritis) yang melatarbelakangi penulis dan tim penyusun untuk
memilih topik “Nikah Siri” sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah
dan presentasi mata kuliah Agama dan Etika Islam. Terlepas dari berbagai
pemberitaan akan “Pernikahan Siri” yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang
salah mengartikan nikah siri dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan
ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya
topik “Pernikahan Siri” ini kami angkat.
Besar
harapan penulis dan tim penyusun agar makalah ini dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya sebagai literatur atau sumber pencarian informasi terkait topik
pernikahan siri. Maka dari itu, kami tim penyusun berusaha sebaik-baiknya untuk
mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber dan narasumber untuk
dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi
oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
1.2 Tujuan
Tujuan tim penyusun menulis dan
menyusun makalah ini antara lain :
a. Mahasiswa dan masyarakat lainnya
(pembaca makalah dan audiens presentasi) memahami berbagai definisi akan nikah
siri
b. Mahasiswa dan audiens lain
mengerti dan mengetahui landasan hukum terkait nikah siri baik ditinjau dari
sudut pandang Islam dan pembahasan berbagai rancangan undang-undang
c. Mahasiswa dan audiens lain
mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari nikah siri
d. Mahasiswa dan audiens lain dapat
mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait nikah siri dan berdiskusi satu sama
lain
e. Memenuhi salah satu syarat atau
tugas Agama dan Etika Islam
1.3 Manfaat
a. Dengan penjelasan yang detail dan
berbagai kajian akan negatif-positifnya nikah siri audiens akan dapat mengerti
bahwa nikah siri lebih banyak menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya dapat
dijadikan pencegahan akan terjadinya nikah siri
b. Membantu berbagai kalangan untuk
menyamakan pikiran akan tidak baiknya pernikahan siri terutama untuk latar
belakang non-kekurangan biaya
c. Membantu mensosialisasikan apa
sebenarnya nikah siri itu dan tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk
mengurangi angka terjadinya nikah siri
d. Menambah angka audiens atau
masyarakat yang memahami berbagai fakta, pro dan kontra terkait pernikahan siri
dan hukum-hukum yang terkait nikah siri
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan
oleh masyarakat umum dengan :
Pertama; pernikahan tanpa
wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan
tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa
mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
Kedua, pernikahan yang sah secara agama
namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak
mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu;
dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri;
atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
2.2
Landasan Terkait Catatan Pernikahan
Pertama, pada dasarnya, fungsi
pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang
memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah
melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap
absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang
bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah)
di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam,
memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang
yang melakukan tindakanmukhalafat. Pasalnya,
negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai
hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat
yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat;
seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan
karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh
mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah
mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan
menyelenggarakan walimatul ‘ursy.Anjuran
untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi
sangat menganjurkan (sunnah muakkadah).
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Nikah
Siri Menurut Hukum Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan
Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan
memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai
nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya
diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah
dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga
tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf
RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang
yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan
perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur
(antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan,
calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada
calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
3.2 Nikah
Siri Menurut Islam
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni
pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah
tanpa wali.Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan
dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada
hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’
sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah
saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها
فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya,
maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu
Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها
فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya.
Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab,
sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya
sendiri”. (HR
Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI:
231 hadits ke 2649)
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan
berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan
bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa
wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab
ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya
kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi
penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah
Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut
ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni
(1) hukum
pernikahannya; dan
(2) hukum
tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang
wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia
telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
pertama, meninggalkan kewajiban, seperti
meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya;
kedua, mengerjakan tindak haram, seperti
minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya;
ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi
negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan,
dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya,
pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai
berikut;
(1) wali,
(2) dua
orang saksi, dan
(3) ijab
qabul.
Jika tiga
hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat
walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
3.3
Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan
(1) untuk mencegah munculnya fitnah di
tengah-tengah masyarakat;
(2)
memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada
persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai;
(3) memudahkan
untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal
semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya
jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif
dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan
menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai
pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus
yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan
sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar
itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi
relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat
serta untuk mencegah adanya fitnah.
3.4 Bahaya
Terselubung Surat Nikah
Walaupun
pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi
masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi
munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih
lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan,
talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak
mengetahui sama sekali.Diantara praktek-praktek menyimpang dengan
mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak
isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada
pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika
terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak
mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti
surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi
menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang
dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara
suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri
telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut
kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan
terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat
nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan
keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri
dengan menunjukkan surat nikah.
Oleh
karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan
pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga
berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin
memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran
surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru
disalahgunakan.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
a. Bahwa penyiaran pernikahan dan
adanya surat nikah lebih banyak menimbulkan hal positif daripada hal negatif
b. Penguasa (dalam hal ini
pemerintah) harus mengawasi dengan ketat
penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat
nikah tidak justru disalahgunakan
c. Pelaku
nikah siri hendaknya tidak dipidanakan karena nikah siri dapat terjadi oleh
berbagai faktor dan secara syariat pernikahan tersebut sah apabila terdapat
(1) wali,
(2) dua
orang saksi, dan
(3) ijab
qabul.
4.2 Saran
Sebaiknya pembahasan mengenai nikah
siri tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja namun akan lebih baik
apabila disosialisasikan pada masyarakat baik-buruknya dan berbagai pro-kontra
yang terjadi agar masyarakat dapat terbantu dalam mengambil keputusan dan
mengurangi terjadinya pernikahan siri. Apabila sosialisasi agak sulit dapat
dilakukan dengan terjunnya berbagai pakar yang memahami detail hukum dan
seluk-beluk nikah siri ini untuk berdiskusi langsung dengan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
a. Artikel “Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan”
b. Google.com keyword : definisi nikah
siri
c. Buku Agama Islam Sekolah Menengah
Atas kelas XII